Perwujudan Cita-Cita Pendiri Gontor
Bulan Ramadhan lalu, Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor resmi
beroperasi. Untuk itu, UNIDA akan menambah beberapa fakultas. Inilah
salah satu cita-cita Trimurti pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor, yakni berdirinya universitas berbasis pesantren.
Penyerahan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Muhammad Nuh kepada Amal Fathullah Zarkasyi beserta rombongan Badan
Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor menandai resminya Universitas
Darussalam (UNIDA) di tahun 2014.
Surat keputusan yang diserahkan tanggal 18 Juli itu juga menandakan
tercapainya cita-cita Trimurti pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor,
KH. Imam Zarkasyi, KH. Ahmad Sahal, dan KH. Zainuddin Fananie tentang
upaya mempersiapkan generasi terbaik untuk masa depan Islam dan Muslimin
melalui pendidikan tinggi.
Sejak berdiri tahun 1964, UNIDA telah berulang kali berganti nama.
Pada tahun berdirinya, diberi nama Institut Pendidikan Darussalam (IPD)
dengan dua fakultas: Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ushuluddin. Kemudian
pada awal tahun 1990-an, IPD membuka Fakultas Syariah dan berganti nama
menjadi Institut Studi Islam Darussalam (ISID).
Tidak bisa dipungkiri, peresmian UNIDA menggantikan ISID memberikan
konsekuensi, baik dalam hal administrasi, sarana prasarana, hingga
penambahan fakultas. Jika saat bernama IPD memiliki dua fakultas, ISID
tiga fakultas, maka dengan diresmikan UNIDA jumlah fakultas di Perguruan
Tinggi Pesantren pertama di Indonesia itu pun harus bertambah.
Fakultas yang sudah ada, seperti Tarbiyah, Ushuluddin dan Syariah,
akan dikolaborasikan dengan fakultas umum: Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Fakultas Humaniora, Fakultas Ilmu Kesehatan, serta Fakultas
Sains dan Teknologi. Tidak ketinggalan, ada Program Studi Ilmu Aqidah
dan Bahasa Arab sebagai andalan program pascasarjana.
Selain itu, persoalan SDM juga menjadi problem tersendiri. Pasalnya,
jumlah tenaga pengajar yang terbatas, khususnya untuk fakultas umum,
membuat UNIDA melalui Rektorat memutuskan untuk merekrut dosen yang
berasal dari luar lingkungan Pondok Modern Darussalam Gontor.
Sebelumnya, UNIDA memang memprioritaskan guru senior yang tinggal di
dalam sebagai tenaga pengajar. Tentu, kebijakan ini tidak mengurangi
profesionalitas dalam proses pengajaran di kampus maupun di pondok.
Terlebih masa transisi dari ISID ke UNIDA juga mensyaratkan penambahan
sarana dan prasarana, seperti asrama dan perpustakaan.
Hingga Sabtu (9/8), proses pembangunan perpustakaan terus dikebut.
Pembangunan gedung fakultas di timur gedung utama juga dikebut. “Kami
berharap gedung fakultas selesai dalam satu tahun ke depan,” ujar Hamid
Fahmy Zarkasyi mengacu pada upaya mobilisasi kegiatan di UNIDA.
Selain itu, pengeluaran dana hampir Rp 64 miliar menunjukkan
keseriusan Pondok Modern Darussalam Gontor untuk merealisasikan
Universitas Islam berbasis pesantren pertama di Indonesia itu. Untuk
mahasiswa, saat ini UNIDA masih didominasi oleh sebagian besar alumni
Pondok Modern Darussalam Gontor.
Komposisi ini kemudian akan berubah pada tahun-tahun mendatang dengan
menerima mahasiswa dari luar. “Untuk tahun pertama dan kedua, mayoritas
mahasiswa berasal dari lulusan KMI saja. Tahun ketiga, UNIDA akan
membuka penerimaan mahasiswa dari luar KMI,” ujar Pembantu Rektor II
UNIDA, Setiawan Lahuri, kepada Majalah Gontor.
Sistem administrasi kemahasiswaan juga tidak luput dari proses
pembaharuan. Mulai tahun ini, UNIDA menerapkan sistem berbasis online.
Nantinya, pengajuan materi dan nilai akan melalui proses komputerisasi.
Induk administratif pun berubah. Jika sebelumnya induk
administratifnya di bawah Departemen Agama atau Kopertais, saat berganti
nama UNIDA berganti induk di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
atau Kopertis.
Bagi Setiawan, perpindahan induk administratif ini juga memiliki
kelebihan, seperti urusan administrasi dan kemudahan dalam pengajuan
biaya penelitian. “Di bawah Kopertis, dana penelitian melimpah. Maka ini
bisa dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin untuk kemajuan UNIDA ke
depannya,” kata Setiawan.
Universitas Berbasis Pesantren
Salah satu keunggulan sistem pendidikan UNIDA adalah menjadi
satu-satunya Perguruan Tinggi yang berbasis pesantren. Mahasiswa
dituntut 24 jam berada di kampus. Mahasiswa juga dihadapkan pada
segudang kegiatan kemahasiswaan, mulai dari kegiatan intra kampus maupun
luar kampus.
Mahasiswa UNIDA tidak dilibatkan di organisasi seperti Himpunan
Mahasiswa islam (HMI) maupun Persatuan Mahasiswa islam Indonesia (PMII).
UNIDA lebih mengaktifkan organisasi mahasiswa yang diberi nama Dewan
Mahasiswa (DEMA). DEMA sebagai pengayom kegiatan mahasiswa, baik di
dalam maupun di luar.
Saat ini, DEMA memiliki beberapa cabang, seperti di Gontor, Siman,
Mantingan, Kediri, dan Magelang. Semuanya berada di bawah pimpinan DEMA
Pusat yang berkedudukan di Gontor. Sistem pesantren ini sepenuhnya
dijalankan secara nyata oleh DEMA sebagai fasilitator harian.
Para dosen pun ikut mengontrol kegiatan mahasiswa secara umum.
Tercatat ada kurang lebih 20 dosen yang tinggal di dalam kampus. Tugas
dosen tersebut tidak saja untuk mengajar perkuliahan, tetapi juga
menjaga agar kualitas akhlak mahasiswa tetap terjaga.
Seperti halnya santri, mahasiswa UNIDA diharuskan menyetor hafalan di
setiap semesternya. Setelah wisuda, mahasiswa memiliki hafalan
al-Qur’an atau surat-surat tertentu. Selain itu, diskusi antar
mahasiswa, pembuatan majalah kampus, mengajar TPA di sekitar UNIDA,
mengajar pramuka menjadi agenda rutin mingguan mahasiswa UNIDA.
Dengan semboyan “Olah pikir, olah zikir dan olah raga”, DEMA tiap
tahunnya mempersiapkan beragam acara, mulai dari seminar, studi banding
antarkampus, hingga olimpiade ekonomi Islam bagi mahasiswa lintas
kampus.
Kedatangan tokoh internasional juga menjadi agenda tahunan UNIDA.
Tercatat, dosen Al-Azhar Mesir, Dr. Mustafa Dasuki Kasabah hingga mufti
Syiria, Wahbah Zuhaili pernah mengunjungi kampus yang dikelilingi
hamparan sawah tersebut.
UNIDA di bawah komando Hamid Fahmy Zarkasyi menjelma sebagai salah
satu universitas yang menentang keras aliran liberalisme, sekularisme,
dan pluralisme agama di Indonesia. Segala materi pembelajaran dan
diskusi diarahkan untuk membendung arus pemikiran ala Barat tersebut.
Upaya yang dibangun pun tidak main-main. Salah satunya keberadaan
Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS) sebagai lembaga kajian
Islam dan ketimuran yang digagas oleh Hamid Fahmy Zarkasyi. Puluhan
karya telah diterbitkan. Ribuan karya berbahasa Arab maupun Inggris dari
ulama salaf hingga ulama kontemporer juga telah dipersiapkan.
Tidak berhenti dengan CIOS, ada pula Pendidikan Kaderisasi Ulama
(PKU) kerjasama MUI. Programnya diadakan secara intensif selama 6 bulan.
Dan di akhir program, mahasiswa PKU ditugaskan untuk mempresentasikan
tugas akhirnya di tempat-tempat yang telah ditentukan, seperti di
Jakarta dan beberapa kota besar lainnya.
Sebuah anugerah besar bagi umat Islam di Indonesia atas beroperasinya
universitas berbasis pesantren pertama di Indonesia ini. Terlebih misi
untuk membendung arus liberalisasi menjadi daya tarik tersendiri bagi
umat yang cinta akan ilmu pengetahuan yang menyegarkan dan mencerahkan.
oleh Mohamad Deny Irawan